Bab 1
Pada hari di mana Selena Bennett didiagnosis menderita kanker lambung, Harvey Irwin sedang menemani kekasihnya yang ingin melakukan tes kesehatan untuk putranya.
Di koridor rumah sakit, Lewis Martin yang memegang laporan biopsi berkata dengan wajah yang serius, “Selena, hasilnya sudah keluar, tumor ganas stadium 3A. Jika operasinya berhasil, persentase yang kamu miliki untuk bisa bertahan hidup selama 5 tahun mencapai 15-30%.”
Jari-jari ramping Selena menarik tali bahu tasnya dengan erat. Dengan wajahnya yang agak pucat dan tampak serius itu, dia bertanya, “Kak, berapa lama aku bisa hidup tanpa operasi?”
“Setengah tahun hingga satu tahun, setiap orang berbeda-beda. Dalam kasusmu ini, lebih baik kamu melakukan dua tahap kemoterapi sebelum operasi, agar kamu dapat menghentikan risiko penyebaran dan metastasis.”
Selena menggigit bibirnya dan berkata dengan ekspresi sedih, “Terima kasih.” “Untuk apa kamu harus berterima kasih padaku? Aku akan mengatur agar kamu dirawat di rumah sakit.” “Tidak perlu, aku tidak berniat melakukan pengobatan. Aku tidak akan sanggup bertahan.”
Saat Lewis masih ingin mengatakan beberapa patah kata lagi, Selena dengan hormat membungkuk padanya sambil berkata, “Kak, tolong bantu aku merahasiakan hal ini, aku tidak ingin keluargaku khawatir.”
Keluarga Bennett sudah bangkrut. Selena saja sampai bersusah payah menanggung biaya yang tinggi untuk ayahnya. Selena hanya akan menambah derita keluarganya jika sampai memberi tahu mereka tentang kondisinya.
Lewis dengan menghela napas dengan perasaan tak berdaya, lalu berkata, “Kamu tenang saja, aku akan menjaga rahasia ini dengan baik. Kudengar kamu sudah menikah, suamimu ... ”
“Kak, tolong bantu jaga ayahku. Aku pergi dulu, masih ada urusan.” Selena sepertinya sangat enggan untuk membicarakan topik ini. Dia sudah berjalan pergi sebelum Lewis sempat bereaksi.
Lewis pun menggelengkan kepalanya. Bersadarkan rumor, Selena mengambil cuti dari studinya untuk menikah sebelum dia lulus dari universitas. Mantan mahasiswi jenius di sekolah kedokteran itu mengalami keadaan yang sangat terpuruk saat ini, kondisinya sangat menyedihkan.
Hanya Selena saja yang sibuk mengurusi perawatan ayahnya dalam dua tahun terakhir. Bahkan ketika penyakitnya sendiri kambuh, yang mengantarkannya ke rumah sakit adalah orang lain yang kebetulan melihat dirinya di jalan. Dari awal hingga saat ini tidak terlihat sosok suaminya.
Selena kembali mengingat kenangan di masa lalu. Harvey pernah bersikap tulus kepadanya di awal pernikahan mereka. Namun sayang sekali, semuanya berubah ketika kekasih Harvey pulang dari luar negeri dalam keadaan hamil. Pada saat yang bersamaan, Selena yang juga sedang hamil terjatuh ke dalam air bersama kekasih Harvey.
Di saat sedang meronta, Selena melihat Harvey mati-matian berenang ke arah Agatha Wilson. Agatha dan Selena yang sama- sama terguncang pun melahirkan secara prematur pada saat yang bersamaan. Karena Selena terlambat diselamatkan, anaknya meninggal di dalam perut ketika dia diantar ke rumah sakit.
Di hari ketujuh setelah kepergian anaknya, Harvey mengajukan gugatan cerai. Namun, Selena belum menyetujuinya. Saat ini, setelah Selena mengetahui kondisi penyakitnya sendiri, dia merasa sudah tidak sanggup untuk bertahan lagi.
Dengan tangan yang gemetar, Selena menelepon Harvey. Setelah berdering tiga kali, suara Harvey yang berat dan dingin pun terdengar, “Selain untuk urusan perceraian, aku tidak ingin menemuimu.”
Selena merasa sangat sedih, matanya terasa agak panas. Dia mengurungkan niatnya untuk memberitahukan kondisi penyakitnya pada Harvey. Suara Agatha tiba-tiba terdengar dari ponsel, “Harvey, bayi kita harus menjalani pemeriksaan.”
Air mata yang dari tadi ditahan oleh Selena, akhirnya jatuh juga. Selain kehilangan anak, rumah tangganya juga hancur. Sedangkan Harvey malah membangun sebuah keluarga baru dengan orang lain. Sudah waktunya untuk mengakhiri semua ini.
Selena pun tidak lagi memohon dan memelas seperti dulu. Terdengar kata-katanya yang sayu, “Harvey, ayo kita bercerai.”
Pria yang ada di ponsel itu terdiam sejenak, lalu terdengar tawa dingin. “Selena, trik apa lagi yang sedang kamu mainkan?” tanya Harvey.
Selena memejamkan mata dan berkata dengan tenang, “Harvey, aku akan menunggumu di rumah.”
Setelah menutup telepon, saking lemasnya, Selena yang menyandarkan badannya di dinding sampai terjatuh. Air hujan yang deras di luar koridor pun masuk karena tertiup angin hingga membasahi tubuhnya. Dia mencengkeram ponsel dan menggigit lengan bajunya sembari menangis tanpa mengeluarkan suara.
Harvey tercengang begitu panggilan telepon itu tiba-tiba terputus. Selena melakukan perang dingin selama satu tahun dan enggan untuk bercerai. Kenapa hari ini dia tiba-tiba malah berubah pikiran?
Suara Selena terdengar agak terisak. Melihat hujan lebat yang turun di luar, Harvey pun segera melangkahkan kakinya meninggalkan ruang pemeriksaan.
“Harvey, mau ke mana kamu?” Agatha mengejarnya sambil menggendong anak mereka. Namun, yang terlihat hanyalah sosok Harvey yang berjalan semakin menjauh. Wajah yang hangat itu pun tiba-tiba berubah menjadi suram dan menakutkan.
“Dasar sialan, ternyata masih belum menyerah juga,” ujar Harvey dalam hati.
Harvey sudah lama tidak menginjakkan kaki di kamar pernikahan mereka. Dia mengira Selena akan menyuguhkan satu meja penuh hidangan favoritnya dan menunggunya pulang. Namun, begitu dia tiba, vila itu terlihat kosong, kurang penerangan, dan terasa ada aura yang suram.
Malam di musim dingin selalu datang lebih cepat, baru pukul enam lewat saja di luar sana sudah tampak gelap. Harvey melirik bunga yang layu di atas meja makan.
Dengan sifat yang dimilikinya, Selena tidak akan pernah membiarkan bunga layu seperti ini, dia pasti akan membuangnya. Jadi hanya ada satu kemungkinan, yaitu beberapa hari ini dia tidak ada di rumah, dia kemungkinan besar berada di rumah sakit.
Saat mendorong pintu dan berjalan masuk, Selena melihat seorang pria dengan postur tubuh yang tinggi sedang berdiri di samping meja dengan mengenakan setelan jas. Begitu pemilik wajah tampan yang sedingin es itu mengarahkan pandangannya pada Selena, terlihat kebencian yang luar biasa dari dalam bola matanya yang gelap itu.
Selena yang basah kuyup akibat berlari menerjang hujan lebat setelah turun dari bus, merasa tubuhnya gemetaran begitu melihat tatapan mata yang sangat dingin dari Harvey.
“Kamu pergi ke mana?” tanya Harvey dengan suara yang dingin.
Sepasang mata Selena yang biasanya cerah, saat ini terlihat sayu. Dia melihat ke arah Harvey sambil berkata dengan nada bicara yang datar, “Apakah kamu masih peduli dengan hidup dan matiku?”
Harvey mencibir dan berujar, “Aku khawatir tidak ada yang tanda tangan kalau kamu mati.”
Kalimat itu terasa seperti ribuan duri yang menusuk dengan keras ke jantungnya. Selena berjalan ke dalam ruangan dalam kondisi basah kuyup. Dia tidak menangis, tidak juga membuat keributan. Selena dengan tenang mengeluarkan kantong dokumen berisikan surat perjanjian.
“Jangan khawatir, aku sudah membubuhkan tanda tangan.”
Perjanjian hitam di atas putih itu diletakkan di atas meja makan. Harvey tidak pernah merasa bahwa kata “perceraian” yang tertera di kertas itu bisa begitu menyilaukan mata.
Selena hanya punya satu permintaan, yaitu uang 20 miliar rupiah sebagai kompensasi. “Sudah kuduga, mana mungkin kamu mau bercerai? Ternyata itu demi uang.”
Ekspresi mengejek dari Harvey memenuhi bola mata Selena. Jika sebelumnya Selena akan berusaha memberikan penjelasan, hari ini dia benar-benar sudah terlalu lelah.RêAd lat𝙚St chapters at Novel(D)ra/ma.Org Only
Oleh karena itu, Selena hanya berdiri dengan tenang dan menjawab dengan lembut, “Pada dasarnya aku bisa saja mengambil setengah dari kekayaan Tuan Harvey, tapi aku hanya ingin 20 miliar rupiah saja. Bisa dibilang aku ini terlalu baik hati.”
Harvey melangkah maju, sosoknya yang tinggi besar itu menutupi badan Selena. Jari-jarinya yang ramping mencengkeram dagu Selena, lalu dia berkata dengan suara yang dingin dan tegas, “Kamu memanggilku apa?”
“Jika Tuan Harvey tidak suka dipanggil seperti itu, aku juga tidak keberatan memanggilmu sebagai mantan suami. Kamu bisa pergi setelah membubuhkan tanda tangan.”
Wajah wanita yang berwatak keras itu membuat Harvey merasa tidak senang. “Ini rumahku, apa kamu punya hak untuk memintaku pergi?” ujar Harvey.
Selena tersenyum sinis dan berkata, “Aku memang tidak punya hak. Tuan Harvey, jangan khawatir, aku akan pindah dari sini setelah mendapatkan akta cerai.”
Setelah mengatakan hal itu, Selena menepis tangan Harvey. Matanya yang suram menatap lurus ke arah Harvey, lalu dia berkata dengan dingin, “Tuan Harvey, besok pagi jam sembilan, bawa surat cerai dan kartu keluarga. Kita akan bertemu di Kantor Catatan Sipil.”