Menantu Pahlawan Negara

Bab 11



Bab 11 Tamu Terhormat Bank

“Masih berpura-pura! Dari mana seorang idiot punya uang untuk membeli Hati Peri?” 

Sambil pamer ke arah Luna, Wulan pun berkata, “Nanti aku akan memakai Hati Peri untuk pesta ulang tahun, kemudian memakainya untuk tanda tangan kontrak dengan Grup Angkasa Sura. Bahagia sekali ….” 

Wisnu juga memuji adiknya, “Wulan, nantinya kamu akan menjadi wanita paling menarik perhatian di Kota Banyuli. Adapun beberapa orang, mereka bahkan nggak pantas berada di sisimu.” 

Semua orang merasa iri. Tuan Muda David sangat baik hati, dia bahkan membelikan hadiah seperti Hati Peri. 

Kaya sekali. 

Ardika merasa kesabarannya sudah habis. Dia mengepalkan tangannya dan berjalan maju, tetapi dihentikan oleh Luna. 

“Ardika, tenangkan dirimu.” 

“Astaga, coba lihat tampang si idiot ini, dia ingin memukulku, ya?” ucap Wulan sambil berpura-pura takut. 

“Kalau dia berani memukulku, aku akan menyuruh Kakek untuk mengusirnya dari Keluarga Basagita.” 

“Gila! Orang idiot ini mau pukul orang.” 

Tidak sedikit anggota Keluarga Basagita yang maju untuk membela Wulan. 

Wisnu juga mengangkat ponsel sambil mengancamnya, “Kamu ingin memukul adikku? Kamu percaya nggak, satu telepon dariku bisa membuat perusahaan milik Luna bangkrut dan disita.” 

Ardika menatapnya dengan dingin sambil berkata, “Kamu berani menyita perusahaan milik istriku? Kalau nggak takut mati, coba saja.” 

“Oh, kamu kira aku takut?” Selesai bicara, Wisnu segera menelepon seseorang dan menyampaikan beberapa hal. 

Tak lama kemudian, ponsel Luna pun berdering. 

“Bu Luna, gawat! Orang bank tiba-tiba datang dan menyita semua aset kita.” 

… 

Ketika Luna buru-buru datang ke kantor, waktu sudah tengah malam. 

Ketika masuk ke dalam, semuanya tampak berantakan. 

Banyak perlengkapan yang sudah menghilang dan hanya tersisa beberapa peralatan kantor. 

“Bu Amel, komputer-komputer jelek ini juga harus dicatat?” 

Beberapa orang asing yang mengenakan seragam kerja sedang menghitung aset. 

“Semua ini adalah aset milik bank kita, kenapa nggak perlu dicatat? Catat dengan saksama, kalau sampai kurang, aku akan mencarimu.” 

Seorang wanita paruh baya dengan tampang jahat sedang berdiri di tengah sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. 

Luna berjalan ke depan dengan ekspresi kesal, dia lalu berkata, “Bu Amel, bukankah jatuh temponya masih beberapa hari lagi?” 

“Siapa kamu?” Amel menoleh dan memperhatikan Luna dari atas ke bawah, dia lalu melanjutkan, “Nggak punya sopan santun, bicara apa kamu? Pergi sana! Jangan mengganggu pekerjaan kami.” 

“Sombong sekali! Dari bank mana kamu?” tanya Ardika dengan ekspresi dingin. 

Meihat Ardika yang mengenakan pakaian murahan, Amel hanya mendengkus dingin. 

“Buta, ya?” 

Wanita itu mengangkat jarinya yang kasar dan besar, kemudian menunjuk kartu pekerja di dadanya sambil berkata, “Bank Banyuli! Buka matamu dan lihat dengan jelas.” 

Ketika melihatnya, Luna segera menarik Ardika ke belakang sambil meminta maaf, “Bu Amel, jangan marah. Dia memang sedikit emosian, bukan sengaja menyerang Anda. Saya minta maaf.” 

“Saya adalah bos perusahaan ini, Luna.” 

Luna berusaha tersenyum dan berkata, “Bu Amel, bolehkah Anda memberikan waktu beberapa hari lagi. Jangan disita dulu, saya pasti akan membayarnya.” 

“Ternyata kamu adalah bosnya. Ada yang melaporkan bahwa perusahaan kalian nggak mampu untuk bayar utang, jadi kami harus menyitanya lebih awal.” 

Amel berkata dengan kesal, “Perlengkapan kantor kalian sudah dibawa ke bank, sekarang minggir dulu, jangan menggangguku. Kalau bukan karena perusahaan ini, aku juga nggak perlu lembur.” 

Luna yang marah tidak berani melawan. 

“Aku akan bertanya kepada pemimpin banknya dulu.” Text property © Nôvel(D)ra/ma.Org.

Luna menarik Ardika untuk pergi ke bank cabang selatan. 

Ketika sampai, mereka melihat pintu bank sudah tutup. 

Setelah menelepon beberapa kali, Luna mendapatkan jawaban bahwa mereka baru bisa bertransaksi keesokan harinya. 

Luna pun jongkok dengan ekspresi sedih. 

Ardika memberikan satu botol minuman. 

Setelah membuka tutup botol, Ardika berusaha menghiburnya, “Nggak apa-apa, aku sudah menelepon pimpinan bank. Besok kita datang lagi.” 

Pimpinan Bank Banyuli bernama Calvin Rewind, Ardika pernah bertemu dengannya di Restoran Gatotkaca. Dia juga memberikan satu kartu hitam kepada Ardika. 

Ardika sudah meneleponnya. Calvin juga berjanji bahwa besok akan menyiapkan orang untuk menyambut mereka dan membantu proses transaksi mereka. 

… 

Keesokan harinya, Luna dan Ardika datang ke bank cabang selatan. 

Amel yang semalam sedang menunggu di depan pintu bank dengan hormat bersama beberapa karyawan lain. Dia tampak gemetar dan sepertinya sudah menunggu cukup lama. 

Sambil mengangkat alisnya, Ardika menarik Luna ke depan dan bertanya, “Orang yang diatur Calvin itu kamu?” 

“Apaan kamu? Minggir sana!” 

Amel memarahinya dengan kesal. Dia lalu menoleh ke arah Luna dan berkata, “Oh, kamu masih berani datang! Melihat tampangmu itu, kamu sepertinya nggak bisa tidur sepanjang malam. Uangnya pasti nggak cukup, ‘kan? Jangan menghabiskan waktu di sini, bank kami bukan badan amal, kami nggak bertransaksi dengan orang miskin.” 

Setelah mendengarnya, Luna pun merasa sedih. 

Namun, dia berusaha tersenyum dan ingin mengatakan sesuatu. 

Ardika tiba-tiba berdiri di sampingnya, lalu memarahinya, “Minggir sana, sialan!” 

“Kurang ajar … kamu!” 

Melihat tatapan Ardika yang begitu dingin, Amel langsung terkejut. 

“Ck! Luna, gimana rasanya disita? Nggak enak, ‘kan?” 

Tiba-tiba, suara wanita yang penuh sindiran terdengar dari belakang. 

Ketika mengangkat kepalanya, kedua mata Amel langsung berbinar. Dia segera membungkuk dan menyambutnya, “Oh, Tuan Muda David dan Nona Wulan sudah datang. Pak Calvin meneleponku semalam, dia bilang ada orang penting yang akan datang bertransaksi pagi-pagi, aku sudah menunggu kalian sejak pagi.” 

“Cepat masuk, orang penting seperti kalian ini adalah tamu yang harus kami layani. Aku akan mendahulukan kalian.” 

David menunjukkan ekspresi bangga. 

Wulan mengangkat dagunya dengan tinggi dan berkata, “Ayo masuk.” 

Lalu, Wulan juga mengandeng tangan David dan berjalan dengan ekspresi sombong. 

Ketika melewati Luna, Wulan sengaja berkata dengan sinis, “Buat apa datang pagi-pagi? Berebut tempat untuk mengemis, ya?” 

Ardika berkata dengan kejam, “Siapa yang mengemis masih belum pasti.” 

David tiba-tiba menghentikan langkahnya, lalu menatap Ardika dengan kesal. 

Amel takut kekacauan yang disebabkan dua orang ini akan menyeretnya. Dia pun segera menghibur David, “Tuan Muda David, Anda jangan marah. Jangan bertengkar dengan dua orang miskin ini, supaya nggak mengotori identitas Anda.” 

“Yuni, bawa mereka untuk pergi transaksi. Aku akan membawa Tuan Muda David dan Nona Wulan masuk dulu.” 

Selesai berkata, dia segera membawa Wulan dan David masuk ke dalam. 

“Silakan ikuti saya.” 

Yuni mungkin baru lulus, sehingga terlihat masih muda. Dia pun mempersilakan mereka masuk dengan sopan, lalu berkata, “Transaksi apa yang akan kalian lakukan?” 

“Kami datang membayar utang perusahaan.” 

Ardika menjawab dengan jujur dan membuat Luna terkejut. Dia segera menarik tangan Ardika dan berkata, “Jangan asal bicara, aku mana punya uang ….” 

Awalnya, Luna datang untuk memohon kepada Amel agar diberikan waktu beberapa hari lagi. 

Yuni adalah anak baru, tentu saja tidak bisa membuat keputusan. Dia pun terdiam dan tidak berbicara. 

“Aku ada.” 

Ardika menggenggam tangannya dan berusaha menenangkannya. 

“Membayar utang.” 

Ardika mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dari sakunya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.